Home » Audit Narasi Hasan Nasbi: Analisis Batalnya Hasan Hasbi Mundur dari PCO

Audit Narasi Hasan Nasbi: Analisis Batalnya Hasan Hasbi Mundur dari PCO

news.afebsi.or.id — Hasan Nasbi batal mundur. Setelah aksi “menepi” yang diumumkan Drama Hasan Nasbi benar-benar mengajari kita satu hal: dalam politik, panggung kadang lebih besar dari isi ceritanya.

Bayangkan, baru 15 hari setelah ia menyatakan “menepi” dengan penuh gaya di Instagram—lengkap dengan nada dramatis dan pose puitis—Hasan sudah kembali lagi, duduk manis di kursi Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO).

Seakan-akan kita ini, rakyat yang menonton, cuma penikmat sinetron panjang yang wajib sabar mengikuti alur cerita meski plot-nya makin absurd dan sulit dicerna.

Inilah wajah telanjang komunikasi kekuasaan kita hari ini. Bukan lagi jembatan nalar yang mempertemukan publik dengan arah kebijakan negara, tapi lebih sering tampil sebagai teater politik. Cerita dibuat rapi, lakon dipilih matang, tapi yang terjadi di belakang layar kadang justru lebih janggal daripada yang kita bayangkan.

Hasan, yang dulu dielu-elukan sebagai perangkai narasi ulung, ternyata tersandung lidahnya sendiri. Komentar “Sudah dimasak aja”—yang dilontarkan santai seolah cuma obrolan warung kopi—malah menjadi api yang membakar habis kredibilitas dirinya dan, lebih parah lagi, memperlihatkan betapa rapuhnya sensitivitas pemerintah terhadap isu kebebasan pers.

Di era di mana publik makin kritis dan mudah tersulut, komunikasi politik seharusnya seperti menari di atas tali: lincah, waspada, dan tahu kapan harus berhenti bicara. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: bicara dulu, mikir belakangan.

Yang bikin miris, cerita ini bukan cuma tentang Hasan Nasbi sebagai figur. Ini adalah cermin dari cacat struktural dalam tata kelola komunikasi politik kita.

Ketika komunikasi publik diperlakukan seperti jualan sabun—tampil kinclong di luar tapi licin dan susah digenggam—maka satu salah ucap bisa berbuah krisis kepercayaan yang sulit diredam. Kesan yang muncul: kekuasaan terlalu percaya diri dengan kemasan, lupa memperkuat isi.

Kembalinya Hasan ke singgasana PCO juga mempertegas satu hal: accountability dalam sistem kita masih jadi barang mewah.

Alih-alih menjadikan kesalahan sebagai titik evaluasi serius, yang terjadi malah sekadar rotasi drama. Ada kesan kuat bahwa di republik ini, memegang jabatan bukan soal tanggung jawab, tapi lebih seperti memegang peran dalam skenario besar yang bisa berubah seenaknya.

Kita harus jujur mengakui bahwa komunikasi kekuasaan hari ini butuh upgrade. Bukan sekadar memperindah kalimat atau memperhalus kata-kata, tapi memperkuat substansi, mendengar lebih banyak daripada bicara, dan benar-benar menjadikan komunikasi sebagai alat untuk merawat kepercayaan publik.

Kalau tidak? Ya siap-siap saja terus jadi negara yang komunikasinya seperti sinetron stripping: selalu ada episode baru, tapi tak pernah benar-benar menyelesaikan masalah.

Dan rakyat? Tetap setia jadi penonton yang dipaksa menikmati cerita, sambil berharap suatu saat nanti ada akhir yang lebih masuk akal.

Kontrol Pesan

Dalam teori komunikasi politik, Denis McQuail menyebutkan bahwa komunikasi harus punya dua wajah: informational (memberikan informasi yang akurat) dan relational (membangun relasi dan empati dengan audiens).

Tapi, mari kita lihat kenyataan di lapangan: komunikasi kekuasaan di negeri ini terlalu sering hanya menonjolkan satu wajah—kontrol pesan.

Seolah yang penting adalah menjaga agar narasi tetap lurus dan rapi di atas kertas, sementara denyut emosi publik dianggap sebagai noise yang bisa diabaikan.

Nah, di titik ini blunder Hasan Nasbi jadi simbol yang telanjang. Ia tidak sekadar terpeleset lidah dengan ucapan “Sudah dimasak aja”—lebih dari itu, ia memerankan kegagalan struktural untuk membaca konteks sosial, menakar sensitivitas isu, dan mengelola krisis dengan elegan.

Padahal, kita hidup di era di mana publik punya radar yang sangat tajam. Sekali ada aroma manipulasi atau ketidakpekaan, gelombang ketidakpercayaan langsung membesar.

Dan yang lucu, bahkan agak tragis, adalah bagaimana drama ini bergulir. Setelah mundur secara dramatis—dengan caption yang penuh kesadaran diri dan seolah ingin memperlihatkan integrity—Hasan tiba-tiba kembali duduk di singgasana tanpa banyak kata.

Sepi dari klarifikasi, sunyi dari narasi baru. Kembali begitu saja, seperti tak ada yang pernah terjadi. Apakah ini potret loyalitas yang utuh? Atau hanya episode lain dari politik dagelan yang enteng meremehkan nalar publik?

Sistem Rapuh

Di sinilah letak persoalan besarnya. Krisis komunikasi politik bukan sekadar perkara kata-kata yang keliru, tapi tentang sistem yang terlalu longgar dan rapuh.

Tanpa coherence of narrative, yang terjadi hanyalah patchwork messaging—sekadar tambal sulam pesan yang lemah dan mudah koyak. Kita terlalu sering mengandalkan figur—secerdas apapun, sehebat apapun—tapi lupa memperkuat sistem yang menopangnya.

Kita seakan menaruh beban terlalu besar di pundak seorang Hasan Nasbi, padahal dia sendiri tak selalu punya akses penuh ke inti kekuasaan. Ini bukan soal siapa yang duduk di kursi komunikasi, tapi soal apakah kursi itu didukung oleh sistem yang kokoh, yang mampu mengintegrasikan pesan dari hulu sampai hilir.

Tanpa itu semua, sehebat apapun narasi yang dirangkai, itu hanya bom waktu. Sekali salah langkah, kepercayaan publik yang sudah tergerus akan runtuh total.

Fenomena Hasan adalah peringatan keras bahwa komunikasi kekuasaan tak cukup hanya cerdas dan kreatif. Ia harus jujur, adaptif, dan sadar konteks. Ingat, politik memang seni kemungkinan, tapi komunikasi politik bukan seni mempermainkan kepercayaan.

Ada batas tipis antara membangun narasi dan memanipulasi realitas. Begitu batas itu dilanggar, publik tak segan memberi vonis: tidak percaya lagi.

Dan sekali lagi, jika komunikasi terus dijalankan seperti ini—lebih suka tampil rapi daripada benar-benar mendengar—kita hanya akan melihat episode-episode baru dari drama yang sama: krisis yang tak pernah benar-benar usai.

Audit Narasi

Mari kita satirkan ini secara akademis: apa gunanya juru bicara jika sekadar menjadi parrot (burung beo) tanpa insight? Apa makna komunikasi publik jika setiap klarifikasi justru menimbulkan spekulasi baru?

Pemerintahan yang kuat harus berani mengaudit bukan hanya kebijakan, tapi juga logika komunikasinya. Karena komunikasi adalah nyawa demokrasi; rusak di sana, mati di sini.

Dari perspektif teori agenda-setting ala McCombs & Shaw, kegagalan framing Hasan tak hanya merugikan dirinya, tapi juga memundurkan langkah pemerintah dalam membangun trust capital. Ini bukan soal “kesalahan sepele,” melainkan tentang kapital sosial yang bocor sedikit demi sedikit.

Apakah mundur-lalu-balik Hasan adalah manuver brilian atau sekadar bentuk politik lip service? Waktu yang akan menjawab. Namun yang pasti, publik sudah lebih cerdas dari yang dibayangkan. Mereka tak hanya menonton panggung; mereka juga menghakimi isi naskah.

Sebagai penutup, saya kutip ulang kata-kata Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Kini, perjuangan komunikasi politik lebih sulit bukan karena lawan di luar, tetapi karena duri-duri di dalam yang menikam dari balik kata-kata yang gagal memelihara nurani.

Sadar Diri

Lalu, apa pelajaran yang bisa kita petik? Bahwa komunikasi politik sejatinya adalah soal trust engineering—membangun, merawat, dan memulihkan kepercayaan secara terus-menerus.

Ia bukan sekadar tentang pesan yang rapi atau visual yang estetik, melainkan tentang bagaimana kata-kata mampu menyentuh logika dan nurani rakyat sekaligus.

Sebab di zaman ini, publik tidak lagi sebodoh yang dulu dibayangkan; mereka punya daya kritis yang siap membedah setiap pesan sampai ke uratnya.

Jadi, saat narasi makin absurd dan panggung politik makin bising, yang paling dibutuhkan adalah satu hal: kesadaran diri.

Kesadaran bahwa komunikasi bukan soal siapa yang paling vokal atau paling viral, tapi siapa yang paling tulus menjaga relasi dengan rakyat.

Dan kesadaran ini, semoga saja, tidak cuma jadi wacana musiman yang cepat basi seperti drama 15 hari Hasan Nasbi.*

Kontributor: BUNG EKO SUPRIATNO (Pernah menjadi Juru Bicara, Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA), Pengurus IDRI Banten dan Pengurus ICMI Orwil Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *