Pendahuluan
Di penghujung tahun 2025 ini, kita merasa pendidikan tinggi swasta (PTS) berada pada titik yang sangat menentukan. Kita semua juga tahu bahwa sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia adalah PTS, dan jutaan mahasiswa menggantungkan masa depannya di sana. Berdasarkan data dari Pddikti, jumlah Perguruan Tinggi Swasta adalah 2.318 (63,7%), sangat jauh dengan dengan jumlah Perguruan Tinggi Negeri, yang hanya berjumlah 125 (2,8%). Jumlah tersebut belum menghitung PTA (Perguruan Tinggi Agama) dan PTK (Perguruan Tinggi Kedinasan).
Namun, kita juga melihat bahwa kondisi PTS hari ini sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak persoalan yang menghampiri dan menghantui PTS, diantaranya akses, mutu, relevansi, akreditasi, persaingan tidak sehat dengan PTN-BH, hingga disparitas sumber daya yang semakin menganga. Bila kita tidak bergerak cepat, kita khawatir PTS akan kesulitan mempertahankan perannya sebagai pilar penting pendidikan tinggi nasional.
Ketika Persoalan Akses, Mutu, dan Relevansi Semakin Nyata
Pertama, soal akses. Kita ingin pendidikan tinggi dapat dijangkau semua kalangan, tetapi kenyataannya banyak anak muda yang akhirnya tidak kuliah karena biaya. Kita berbicara dengan banyak mahasiswa, dan mereka mengatakan bahwa biaya pendidikan di PTS cukup memberatkan. Di sisi lain, banyak PTS justru kekurangan mahasiswa karena kalah bersaing dengan PTN—apalagi PTN-BH yang semakin agresif membuka jalur mandiri. Kita seperti terjebak antara kebutuhan membuka akses dan tanggung jawab menjaga mutu.
Mutu pun menjadi tantangan yang terasa nyata. Kita bisa melihat PTS yang kualitasnya sangat tinggi, tetapi di sisi lain ada juga kampus yang kesulitan memenuhi standar minimal akreditasi. Kita sering melihat bagaimana pengelola prodi berjibaku menyiapkan dokumen, memperbaiki rasio dosen, membangun sistem penjaminan mutu—tetapi kapasitas lembaga membuat semuanya berjalan lambat.
Mutu pendidikan tinggi memang tidak bisa dibangun dalam semalam, tetapi kita juga tidak boleh terjebak dalam kesenjangan kualitas yang makin melebar.
Relevansi pendidikan pun tak kalah penting. Banyak lulusan PTS yang sulit masuk dunia kerja karena kurikulumnya kurang up to date. Industri berubah cepat. Talenta digital, analis data, dan spesialis ekonomi hijau dibutuhkan di mana-mana, tetapi kurikulum kita sering tertinggal. Kita percaya, tanpa kerja sama kuat antara kampus dan industri, lulusan kita akan terus kalah dalam kompetisi global.
Ketika Akreditasi Menjadi Momok
Akreditasi seharusnya menjadi alat perbaikan, tetapi sering terasa seperti beban besar. Kita melihat sendiri bagaimana banyak PTS struggle karena kendala dosen S3 yang terbatas, publikasi yang minim, dan tata kelola yang masih berkembang. BAN-PT dan LAM memang harus menjaga standar, tetapi jika pendekatannya terlalu normatif, yang terjadi justru banyak kampus terancam ditutup.
Kita membayangkan betapa beratnya beban mahasiswa ketika kampus mereka tiba-tiba terancam non-aktif. Kita perlu pendekatan akreditasi yang lebih membina, bukan hanya menilai dan memberi sanksi.
Di banyak daerah, perguruan tinggi swasta (PTS) kecil berdiri dengan semangat idealisme yang besar: ingin membuka akses pendidikan bagi masyarakat yang tidak terjangkau kampus-kampus besar. Namun hari ini, kita sering melihat bagaimana proses akreditasi justru berubah menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Alih-alih menjadi alat pembinaan mutu, akreditasi kadang terasa seperti beban yang terlalu berat untuk kampus yang sejak awal bergerak dengan sumber daya terbatas.

Kita harus jujur—PTS kecil di daerah menghadapi kenyataan yang jauh berbeda dengan kampus besar di kota metropolitan. Dosen masih banyak yang merangkap pekerjaan, sarana prasarana tidak semuanya memadai, kemampuan manajerial belum ideal, dan anggaran operasional sangat bergantung pada jumlah mahasiswa yang setiap tahun fluktuatif.
Ketika instrumen akreditasi mengharuskan laporan keuangan yang kuat, publikasi ilmiah berlimpah, kolaborasi internasional, dan fasilitas modern, banyak PTS kecil hanya bisa menghela napas panjang. Mereka ingin maju, tetapi langkahnya tertahan oleh keterbatasan struktural yang sulit mereka atasi sendirian.
Di sejumlah daerah, kita juga banyak mendengar keluhan yang sama: akreditasi menjadi seperti “pertandingan yang tidak seimbang.” Kampus yang kecil harus berlomba di lintasan yang sama dengan kampus besar, padahal sepatu larinya berbeda kualitas.
Tidak sedikit PTS yang akhirnya terancam tidak bisa menerima mahasiswa baru hanya karena nilainya turun menjadi “Baik,” atau lebih buruk lagi, tidak terakreditasi. Padahal, di kampus-kampus kecil inilah anak-anak buruh, petani, nelayan, dan pekerja informal menemukan harapan untuk mengubah hidup mereka.
Ironisnya, akses pendidikan rakyat kecil justru ikut tergerus oleh ketatnya standar yang tidak selalu mempertimbangkan konteks daerah.
Tentu kita tidak menolak akreditasi—akreditasi penting untuk menjaga mutu. Tetapi kita percaya akreditasi seharusnya menjadi proses pemberdayaan, bukan penghukuman. PTS kecil perlu dibimbing secara intensif, bukan hanya diperiksa.
Mereka butuh pendampingan teknis, penyederhanaan persyaratan tertentu, afirmasi anggaran, hingga keberpihakan dalam perekrutan dosen. Kita harus ingat bahwa perguruan tinggi bukan hanya tentang persaingan mutu, tetapi juga tentang pemerataan akses dan keadilan pendidikan.
Jika kita tidak segera melakukan penyesuaian kebijakan, kita khawatir akan semakin banyak PTS kecil yang tumbang. Dan ketika itu terjadi, yang hilang bukan hanya sebuah institusi, melainkan hilangnya kesempatan bagi ribuan anak daerah untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
Sudah saatnya pemerintah, lembaga akreditasi, dan asosiasi perguruan tinggi melihat realitas ini secara lebih manusiawi. Akreditasi harus tetap menjaga mutu, tetapi juga memberi ruang bernafas bagi mereka yang sedang berjuang untuk naik kelas. (wallahu’alam bishowaf)
Penulis: Achmad Rozi (Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional AFEBSI)