news.afebsi.or.id — Setiap hari berseliweran kabar di media sosial: keluhan tentang sulitnya mencari kerja. Ijazah sudah ditangan, IPK cumlaude, tapi lamaran tak kunjung digubris. Lowongan kerja yang ada makin ketat, persaingan makin sesak, dan yang diterima? Kadang bukan soal siapa yang pintar, tapi siapa yang punya koneksi, pengalaman, atau “sesuatu yang lain”.
Ini bukan sekadar kabar burung. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2024 mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari lulusan perguruan tinggi masih di atas 6,18%. Artinya, dari 100 lulusan, ada lebih dari 6 orang yang masih belum terserap ke dunia kerja. Ini angka yang patut direnungkan — karena setiap tahun, kampus-kampus di negeri ini terus memproduksi ribuan, bahkan jutaan lulusan baru.
Lalu, siapa yang akan menampung mereka semua?
Bukan Soal Kurikulum, Tapi Soal Cara Pandang
Setiap kali mengajar mata kuliah Kewirausahaan di ITB Yadika Pasuruan, saya selalu menyelipkan satu kalimat: “Jangan terlalu berharap pada lowongan, pikirkan bagaimana membuka peluang sendiri.” Kalimat ini bukan basa-basi motivasi, tapi bentuk realitas yang harus dihadapi generasi muda.
Kita tidak sedang kekurangan orang pintar. Yang kurang adalah mental pejuang dan pencipta peluang. Mahasiswa harus mulai berpikir bukan hanya untuk menjadi karyawan, tapi juga pencipta lapangan kerja. Inilah yang membedakan lulusan yang sekadar menunggu panggilan, dengan lulusan yang menciptakan panggungnya sendiri.
Mindset ini penting. Teori Growth Mindset dari Carol Dweck menjelaskan bahwa individu yang percaya bahwa kemampuan bisa dikembangkan lewat usaha dan pengalaman, akan lebih tangguh dalam menghadapi tantangan. Di sinilah letak kunci: mahasiswa harus punya mental “buka lapak” — bukan hanya menunggu warung orang lain buka.
Mismatch Antara Dunia Kampus dan Dunia Kerja
Fenomena “pengangguran intelektual” ini bisa dijelaskan lewat Mismatch Theory dari Allen & van der Velden (2001), yang menyebut adanya ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri. Dunia kerja butuh praktisi, bukan hanya teoritisi. Sementara itu, banyak kampus masih sibuk mengejar akreditasi dan publikasi, tapi lupa membekali mahasiswa dengan pengalaman riil dunia usaha.
Sialnya, banyak pengajar kewirausahaan yang bahkan belum pernah membuka usaha. Maka jangan heran jika kuliah kewirausahaan jadi sekadar hafalan proposal dan presentasi PowerPoint.
Saya pribadi meyakini, dosen kewirausahaan harus lebih dulu mengalami jatuh bangun usaha. Saya pernah jualan nasi goreng malam hari dengan brand Mbah Joyo, lalu bikin camilan kentang kriuk Mister Kentang Kriwul, bahkan ikut merintis bisnis travel umrah. Semua itu bukan untuk gagah-gagahan. Tapi agar saat saya berdiri di depan kelas, mahasiswa tahu bahwa yang berbicara adalah orang yang sudah basah kuyup di lapangan — bukan cuma mengajar dari balik layar LCD.
Ini bukan soal gaya. Ini soal tanggung jawab moral seorang pendidik.
Saatnya Mahasiswa Membuka Pintu Sendiri
Saya tahu, tidak semua orang dilahirkan dengan bakat dagang. Tapi kewirausahaan bukan semata tentang jualan, melainkan soal sikap. Sikap mandiri, tangguh, kreatif, dan tidak gampang menyerah. Seperti kata Kolb dalam experiential learning theory (1984), manusia belajar terbaik bukan dari ceramah panjang, tapi dari pengalaman langsung.
Sudah waktunya mahasiswa Indonesia — terutama dari kampus seperti ITB Yadika Pasuruan — membekali diri dengan skill yang relevan, kemauan belajar yang tinggi, dan keberanian untuk tidak hanya mengikuti arus. Dunia kerja memang sempit, tapi peluang akan selalu terbuka bagi mereka yang berani membuka jalan sendiri.
Penutup: Jangan Menunggu Pintu Dibukakan, Bangun Pintu Sendiri
Mari kita berhenti menggantungkan masa depan pada perusahaan impian. Dunia sudah berubah. Yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar sarjana yang pintar, tapi sarjana yang mandiri.
Kepada seluruh mahasiswa, saya ingin titip satu pesan:
“Kalau pintu tak kunjung dibukakan untukmu, jangan diam. Bangun saja pintumu sendiri — dan ajak orang lain masuk lewat pintu yang kamu ciptakan.”
Salam hangat dan hormat.
Dr. Agus Andi Subroto,
Ketua DPD AFEBSI JATIM dan Kaprodi Manajemen Fakultas Hukum dan Bisnis ITB Yadika Pasuruan,
Bumi Pahlawan Surabaya, 29 Mei 2025