“Ngelmu iku sarana ne kanthi laku!” Pepatah lama ini seakan kembali menghampiri saya saat menikmati suasana santai selepas berbuka di kampus, ditemani kolega sesama pendidik di ITB Yadika Pasuruan.
Malam ini saya tidak mengajar, hanya menyelesaikan tugas administrasi sebagai Kaprodi. Mungkin ada dokumen yang perlu ditandatangani atau mahasiswa yang ingin bimbingan skripsi.
Tiba-tiba, kolega saya duduk di samping tanpa basa-basi, lalu bertanya, “Mister AAS, bagaimana kabar, dan apa rencana ke depan?”
Sebuah pertanyaan retoris yang langsung menarik perhatian saya. Padahal, sebelum ia datang, saya sedang mengetik di layar ponsel, merangkai proposisi dalam larik tulisan. Bahkan, sudah sampai dua paragraf.
Saya pun meletakkan ponsel dan mulai bercengkerama dengannya. Kami berbincang santai, diselingi gelak tawa dan seruputan teh, kopi, serta tak lupa sebatang rokok.
“Prof Iskak, kalau ada S4, saya ingin kuliah lagi. Karena S3 itu memang yang tertinggi, tapi untuk menggenapi laku, saya akan terus bekerja dan belajar seolah sedang menempuh S4,” jawab saya spontan.
Manusia, semakin ke sini, akan semakin fokus pada kemampuannya—dipupuk, dihayati, dan dikontribusikan demi visi yang diyakini. Itulah yang membuat kita tetap bersemangat setiap pagi untuk menghidupkan peran di dunia ini.
Saya dan Prof Iskak sama-sama memiliki mahasiswa. Visi kami terus bertumbuh, kadang divergen, kadang konvergen, tetapi selalu berkembang.
Mungkin, di titik ini, yang kita inginkan bukan sekadar menjadi pengajar teori dan definisi. Lebih dari itu, kita ingin menjadi pelaku—membuktikan bahwa ilmu bukan sekadar konsep di kelas, melainkan laku hidup yang terus dijalani.
Begitulah, dari sebuah tanya spontan, lahirlah renungan kecil yang membuat hati ini terus merasa curious—akan ilmu, laku, dan perjalanan ke depan. (AAS)